ceritanya yang satu ini mau numpang promote di blog ane :p
penulis : "alwan" https://www.facebook.com/all.wan.18?ref=ts&fref=ts
penulis : "alwan" https://www.facebook.com/all.wan.18?ref=ts&fref=ts
KROOMMPYAAAANGGGG!!!!!...................
Sekali
lagi dalam bulan ini, suara dan benturan kotak dari seng tipis ini terlempar
dari meja seorang anak, membentur dinding berwarna merah muda pastel yang
didominasi oleh stiker bercorak kartun dari nickledeon, Spongebob Squrepants. Entah kenapa, ini sudah yang ketiga kalinya
dia melakukan hal yang sama di Juni ini -anak kecil yang kini baru masuk di
sekolah dasar di kelas 3 di tahun ajaran baru ini- sudah yang ketiga kalinya,
aku yang diam anteng di dalam kotak
itupun ikut terlempar jauh ke pojok rumah. Masih terkejut dengan apa yang
terjadi, aku diam, melihat sekeliling mencari teman-temanku yang lain, mereka
bisa saja terlempar ke tempat yang lebih jauh dari tempatku. Di tempat dimana
mata teduh dari wanita cantik itu tidak dapat
melihatnya. Entahhh....
“Ciiii,
kenapa lagi?” terdengar teriakan yang cukup keras namun tetap terdengar merdu
karena suaranya yang memang lemah lembut itu dari arah dapur. Aku dapat
mendengar derap kakinya yang dengan cepat melangkah dari dapur menuju ruangan
ini. Benar saja, dari pojokan ini aku dapat melihat dengan jelas kini wanita cantik dengan bergo abu-abu
dengan mata teduh itu sudah berada di pintu kamar, wanita itu menatap dia yang
terlihat murung seperti hari-hari biasanya, “ada apa lagi Ci?” tanya wanita itu
dengan nada lembut yang seolah ingin tau kenapa anaknya melakukan hal itu lagi,
hal yang sudah dilakukan untuk ke tiga kalinya dalam pada minggu ini di setiap
pagi. Dia tidak menjawab, aku liat anak itu mulai menunduk, anak pendiam itu
langsung menghampiri wanita itu, berdiri di depannya, wanita itu menurunkan
tubuhnya perlahan, berjongkok agar posisinya sama rata dengan Cici, wanita itu
menatap Cici dengan penuh makna, seolah ingin mengerti apa yang ia rasakan, dan
dapat membantunya melewati itu.
.....Diam....
Beberapa
saat waktu seperti berhenti, aku dapat melihat dengan jelas wanita itu memeluk
Cici, merangkul dan mendekatkan wajah polos Cici ke pundaknya.
“Hari
ini aku gak mau sekolah ma!” Cici berbicara, well, aku sudah dapat menebak apa yang akan ia katakan, dan aku
rasa wanita itu juga sudah menduganya, yeah, I, no, we guess it..... ini
adalah minggu kedua dibulan ini, dan apa yang terjadi di hari itu pada Cici
masih misteri bagi mamanya bagaimana Cici melakukan hal itu. Wanita yang sejak
aku berada disini, aku tahu dia merawat Cici sendirian. Tapi apa yang terjadi
pada Cici saat kejadian itu berlangsung, aku sudah tahu. Karena akulah yang
berada disana, yang melakukan itu. Akulah pelakuny, Cici tidak salah sama
sekali, Aku.... Akulah itu.
Akulah
yang menemaninya setiap hari, ya setidaknya diruangan yang penuh dengan
anak-anak berisik dan selalu tertawa dengan keras tanpa tahu kerasnya kehidupan
itu, hingga terjadi insiden ini. Insiden yang membuat Cici menjadi seperti
sekarang ini-tidak mau pergi ke sekolah dan bermain dengan temannya. Akulah
yang menemaninya dikala dia tidak bersama wanita yang dipanggilnya mama itu.
“Kenapa
lagi Ci? Bukannya kamu sudah janji untuk masuk sekolah hari ini”, wanita itu
meyakinkan Cici akan janji yang dibuatnya kemarin setelah membelikannya
sebatang ice cream coklat kesukaanya
“kan sudah mama belikan ice cream
kemarin”.
“Tapi
ma...” Cici menghentikan kalimatnya sejenak, seperti berpikir. “Cici...” dia menghentikannya
lagi, aku yang hanya melihat dan mendengarnya dari pojok ruangan merasa
penasaran juga kenapa dengan Cici, yahhh.. walaupun alasanya tetap saja bisa
aku tebak.
“Kenapa
Ci? Masalah itu sudah selesai, kamu gak perlu takut pergi ke sekolah lagi kan?”
Wanita itu bertanya dengan menatap mata Cici dalam. “ya?” dia menambahkan.
“Tapi
ma.....” Cici kekeuh terhadap kalimatnya untuk tetap tidak bersekolah lagi hari
ini
“Kamu
harus sekolah!” mamanya langsung memotong kalimat Cici, melakukan penekanan pada
kata harus, aku tahu dia mulai merasa harus bersikap tegas pada anaknya, dia
tidak bisa memanjakan Cici lebih lama lagi -anak semata wayangnya- terus-menerus,
atau Cici akan terus berlarut dalam penyesalannya. Cici harus dapat mengatasi
masalah ini secepatnya. Anak kecil ini sudah lebih dari sepuluh hari tidak
pergi ke sekolah. Dan kali ini, mamanya sedikit memaksa melalui kata-katanya.
“katanya mau jadi anak pinter, jadi harus rajin sekolah ya!”.
“Tapi
ma, Niken pasti benci sama Cici”
“Tidak
akan Ci, tidak akan” mamanya mencoba menenangkan Cici, agar perasaaannya tetap
tenang, karena dia tahu bahwa anaknya sangat menyesali perbuatannya itu.
“Teruss....”.
Sambil terisak tangisan Cici melanjutkan kalimatnya “Anak-anak pasti tidak mau
berteman dengan Cici lagi?”, Cici menambahkan “Bu Ani juga pasti akan menghukum
Cici nanti di kelas”.
“Tidak
akan sayang”. Mamanya menjawab tiga
pertanyaan dengan jawaban yang sama. Dan menurutku, itu jawaban paling masuk
akal untuk menenangkan hati seorang anak yang dirundung penyesalan. Aku tahu J , dia memang
mama paling bijak sedunia, aku tetap saja terpaku pada mereka, mama Cici masi
belum melepaskan pelukan anaknya yang terlihat semakin erat. Entah, aku merasa
ini adalah sebuah drama panjang yang mengenyuhkan hati, wait, apa aku punya hati, entahlah, akupun tidak tahu, aku tertawa
memikirkan pernyataanku sendiri, haha. “Mereka tidak akan membenci kamu, kamu
kan sudah minta maaf sama Niken di rumah sakit waktu itu” mamanya tetap mencoba
menenangkan hati anaknya, dari mata Cici, walaupun tidak terlihat jelas, aku
bisa merasakan bahwa di pipinya air mata mulai menetes perlahan.
“Tapi
ma.....” hiks hiks, tangisnya mulai terdegar agak keras.
“Gapapa
sayang” , aku sungguh menyukai wanita yang dipanggil Cici dengan sebutan mama
ini, mata teduhnya, senyumannya yang manis, dan caranya berbicara kepada
anaknya, tapi aku bisa apa, aku hanya bisa menatapnya dari pojokan sini, “Allah
saja maha pemaaf, jadi teman-teman kamu dan Niken pastinya juga akan memaafkan
kamu, ya kan?”, mamanya mengucapkan itu dengan keyakinan sambil tersenyum, aku
yang melihatnya dari jauh saja bisa jadi setenang ini, aku yakin begitupun
Cici.
------2
minggu lalu------
Teng Teng Teng.............
*Bel
Berbunyi tanda istirahat dimulai
Seperti
keadaan kelas anak-anak pada umumnya, di jam istirahatpun anak-anak tetap saja
ada yang di kelas. Para murid asik dengan aktivitasnya sendiri. Ada yang
mengobrol dengan teman sebangkunya, memakan bekalnya ataupun mencoret-coret
kertas bagian belakang buku mereka dengan gambar yang menurut mereka bagus
padahal terlihat absurd, aku tertawa
saja melihatnya. Cici mengangkatku dari kotak seng tipis itu, memegang dan
kemudian mendekatkan ujungku pada kertas bukunya, aku mulai merasakan dia
menyentuhkan ujung tubuhku ke kertas itu, menggoyang-goyangkanku, aku dapat
merasakan apa yang dia lakukan, aku merasa geli atas kelakuannya itu, tubuhku
berdesir, tersenyum.
Apa
yang dia lakukan dengan tubuhku ini?
Dia
menulis dua nama, namanya sendiri dibagian atas dan nama wanita yang
dipanggilnya mama, Santi, dibagian bawah namanya dengan dipisahkan sebuah
simbol hati yang sudah menjadi simbol cinta di dunia ini. Aku hanya tersenyum
saja merasakan itu. “dasar Anak-anak” pikirku.
“Cici anak haram... Cici anak haram....”
tiba-tiba, terdengar suara anak perempuan lainnya dari bangku belakang, tepat
di belakang meja Cici, suara yang aku hafal siapa pemiliknya itu, Niken. Anak
perempuan yang selalu mengganggu Cici tiap harinya di kelas ini. “Cici anak
haram” Niken mengulang kalimatnya itu untuk ketiga kalinya dengan nada
mengejek. Aku yang berada di genggaman Cici merasakan bahwa Cici mulai berhenti
melakukan aktifitasnya, dia terdiam, aku tegang. Aku rasakan dia menahan
tangisya agar tidak bersuara, yahh, seperti inilah dia, hanya diam saat Niken
mengejeknya. Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh, aku merasa Cici tidak akan
diam hari ini. Benar saja, tiba-tiba dia meletakkanku di atas mejanya. Memutar
badan dan kepalanya ke belakang dan menghadap Niken langsung.
“Aku bukan anak haram”, dia
mengucapkannya dengan suara parau dan pelan.
“Apaaa?”, Niken tidak mendengarnya
atau hanya pura-pura tidak mendengarnya.
“Aku
bukan anak HARAM” Cici mengulang kalimatnya dengan sedikit memberi penekanan
agar terdengar meyakinkan, namun kali ini dengan cukup lantang dan keras,
sehingga anak-anak di kelas ini, aku yakin mereka mendengarnya.
“Ha,
apaa?” Niken tetap saja tidak mendengarnya, sekarang aku yakin satu hal, dia bukan
tidak dengar tapi lebih tepatnya, budek, aku
hanya menggeleng-gelengkan kepalaku ke kiri dan kanan -andai aku punya kepala
yang dapat bergerak tentunya.
Tiba-tiba,
dengan sangat cepat dan tanpa aba-aba. Aku melihatnya, tangan niken menarik
rambut di kepala Cici, aku terkejut tidak bisa berkata, ingin teriak sekeras-kerasnya
“Jangannnn” tapi apa daya, aku tidak bisa apa-apa dan hanya bisa melihatnya
saja dari sini, “maafkan aku Ci, aku tidak bisa membantu” lirihku pelan. Niken
semakin menjadi, dia menarik kepala Cici dan menekannya ke meja tulis di
depannya. Cici melawan, namun dia tidak berdaya melawan badan tambul Niken yang
lebih besar darinya. Aku ingin sekali berdiri dan berjalan ke arah Niken dan
melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan pada Cici saat ini.
“Jangan
Ken, sakit...” teriak Cici meronta-meronta dengan mencoba melepaskan tangan
kasar niken dari kepalanya, namun Niken tetap saja melakukannya, dia tersenyum
sinis, aku bisa melihat senyum itu, senyum seorang yang menikmati tindakan
kekerasannya. “Lepaskan Ken”, Cici yang tidak bisa melawan menggerak-gerakkan
tangan kirinya ke meja tulisnya, meraba-raba untuk mengambil sesuatu. “disini
Ci, Disini!” teriakku, dugh dugh dugh, aku mendengar tangannya membentur meja
“disini!!!” aku berteriak, benar saja dia menyentuh dan kemudian mengenggamku,
apa yang terjadi selanjutnya benar-benar diluar dugaanku. Sinngggg, waktu seperti bergerak pelan, semuanya seakan bergerak
lambat buatku, Cici mengayunkanku, kemudian,
......SLASHHH....
“aku tidak mengerti apa yang telah
terjadi,
tapi aku merasa senang melihat
Niken kesakitan”
aku merasa ujung tubuhku menusuk sesuatu, aku
melihat cairan berwarna merah disana, menutupi permukaan bagian bawahku. Aku
sempat bergidik sendiri melihatnya, aku tau benda cair apa itu, merah dan amis
yang manusia sebut sebagai, darah.
“Uuuaarrrrggg”
niken berteriak, tangannya melepaskan kepala Cici dan langsung menutup matanya.
“Uaarrgghh.... akhhhh” dia berteriak histeris,”akkkkhhh, sakiitttt....”
Erangannya sangat panjang, aku yakin para gurupun akan mendengar teriakannya
yang memekakkan telinga itu. Aku tertawa mendengar teriakan Niken yang seperti
mendapat sakit luar biasa itu. Cici yang terkejut melihat tindakannya sendiri,
spontan menjatuhkanku di atas meja, dia menatap kaku tangan Niken yang menutup
wajahnya. Aku tergolek di meja, diam sekaligus senang melihat Niken yang
akhirnya mendapat balasan dari apa yang dilakukannya selama ini pada Cici.
Tiba-tiba aku mendengar beberapa orang masuk
kedalam kelas, Benar saja, para guru. Aku melihatnya, bu Ani-wali kelas Cici
dan beberapa guru lain.”bedhe apa? Bedhe
apa?”, bu Ani langsung langsung bertanya ada anak-anak yang melihat
kejadian itu dengan pertanyaan yang tentu saja ngeri untuk dijawab. Beberapa
dari mereka mencoba membawa Niken keluar dan bu Ani mencoba menenangkan Cici
dengan beberapa kalimatnya. Aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dia
katakan karena tangan seseorang tiba-tiba menyentuhku dan melap ujung tubuhku
yang dihiasi darah dengan kain, kemudian tangan itu menaruhku di kotak seng
milik Cici, tiba-tiba bagian atas kotak itu metutup, aku tidak dapat mendengar
suara apapun, kecuali suara bising. semuanya menjadi gelap, hitam dan pekat.
Aku terdiam (lagi).
-----------
“Jadi
hari ini Cici sekolah ya!” wanita bermata teduh itu melanjutkan kalimatnya
“Ma,
tapi temenin ya!” pinta Cici, “mama temenin Cici ke sekolah, tunggu aja di luar
kelas, ya?” sambungnya. “pokoknya temenin”
Mamanya
sejenak menatap anak semata wayangnya itu, jika apa yang aku pikirkan benar,
maka jawaban Santi akan sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi jawabannya
adalah, “Iya Ci”, Santi menjawab sambil menata wajah anaknya dalam. Aku tidak
menyangka hari ini Mamanya meng-iyakan, tidak seperti hari-hari sebelumnya,
biasanya dia menolak dengan alasan akan pergi bekerja. Tapi hari ini, aku pikir
dia sadar bahwa anaknya sangat membutuhkannya lebih daripada pekerjaannya,
“nanti mama anter dan jagain Cici sampe pulang sekolah, oke?”, lanjut mamanya.
Aku liat Cici tersenyum, akupun tersenyum. J
Perlahan,
aku melihat wanita itu menatap ke penjuru ruangan, “yeah, it is our time” pikirku, “aku di sini San” ,aku berteriak.
Dia mencari-cari kami, para pengisi kotak seng Cici, dia berdiri dan berjalan
ke arah dinding, dia mengangkat dua temanku, “hei, aku disini, disini”
teriakku, namun dia seperti tidak mendengarnya dan melanjutkan mengambil kotak
seng Cici yang ada di seberang sana. Memasukkan ke dua temanku itu ke dalamnya,
dan meletakkan kotak seng itu ke dalam tas Cici.
“hei,
aku disini, di pojok sini!!!” teriakku, dia menatap ke sini “iya, disini”. Dia
mendekat, benar, dia mendekat, aku senang. “yeah, terimakasih San”. Dia mengangkatku,
menggengamnya di tangan halus itu. Namun yang terjadi, dia tetap menggenggamku,
tidak memasukkan ke rumah kotak itu. “hei San, apa-apaan ini!”.
“Bentar
ya Ci, mama ke dapur dulu”, dia sambil tetap membawaku di tangannya. Berjalan
ke dapur menuju arah kulkas, di sebelah kulkas terdapat tong yang berisi setengah
penuh, mulai dari plastik, sisa sayur hingga bungkus mie instant yang tersobek tidak karuan, dia mengangkatku keatas,
melihatku, “kenapa San? Ada apa?” selidikku penuh tanya. “Jangan lakukan itu, please!”, pintaku. Tapi dia memang tidak
dapat mendengar dan mengerti aku, sejurus kemudian benar saja apa yang
kutakutkan, dia melemparku ke tong yang berada di sebelah kulkas. Aku terkulai
lemas, tak percaya apa yang telah terjadi disini. Dia membuangku ditempat kotor
ini bersama para sampah lainnya yang bau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar