Rabu, 05 Juni 2013

Kekerasan Seksual Pada Remaja




Bertempat di Gedung C7, Pada hari Senin 13 Mei 2013, Himpunan Mahasiswa Psikologi UNNES menyelenggarakan Seminar nasional berjudul “Kekerasan Seksual pada Remaja”. Seminar ini diselenggarakan sebagai salah satu acara dalam rangkaian kegiatan Psychology Anniversary 2013 yang dihelat selama bulan Mei.
KEKERASAN BERBASIS GENDER
Seminar ini mengundang A. Kasandra Putranto Psi. Sebagai narasumber, dan Liftiah Psi. sebagai moderator. Dalam memaparkan materi kekerasan seksual pada remaja, Kasandra mendekati fenomena tersebut dari beberapa perspektif. Salah satu perspektif yang digunakan adalah perspektif kekerasan seksual berbasis gender. Menurut data yang dipaparkan -dalam konteks Indonesia, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Hal ini tidak lepas dari konstruksi budaya yang menempatkan wanita sebagai pihak yang tersubordinasikan oleh superioritas laki – laki. Sistem berbasis gender ini termanifestasikan dalam nilai budaya dan struktur masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai objek, pendamping, lebih rendah, hak milik; dan menempatkan pria dewasa sebagai standar/subjek, penentu, paling penting.
SIKLUS KEKERASAN SEKSUAL
Fakta yang menarik, para pelaku kekerasan seksual (sexual harrasers) adalah orang – orang yang dekat dengan korban/ dikenal oleh korban seperti: Orang tua, kerabat, tetangga, guru, teman dll. Mayoritas pelaku adalah pihak – pihak yang lebih superior (lebih memiliki kuasa) didepan korban.
Kasandra pun menjelaskan siklus kekerasan seksual, adalah sebagai berikut:
  1. Tertarik, mengembangkan hubungan
  2. Mulai ‘tampil lebih asli’, muncul konflik dan ketegangan
  3. Ledakan kekerasan
  4. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan mencoba memaknai apa yang terjadi. Pelaku bersikap ‘baik’, minta maaf, manis
  5. Korban merasa ‘berdosa’ (bila tidak memaafkan), menjadi pemicu kejadian, mengembangkan harapan
  6. Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan, disusul ledakan kekerasan lagi, dst
  7. Korban ‘terperangkap’
  8. Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) bisa terus berputar dengan perguliran makin cepat, dengan kekerasan makin intens
  9. Sangat destruktif secara psikologis (dan mungkin juga fisik)
  10. Dpt tampil dlm hubungan pacaran, dengan teman, kekerasan oleh orangtua/ wali/ orang dewasa yang dikenal baik apalagi yang punya kekuasaan atas korban
KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
Narasi dan data kekerasan berbasis gender menempatkan perempuan sebagai mayoritas korbannya –mayoritas di dalamnya adalah perempuan remaja. Walaupun banyak kasus yang terjadi, namun –analog dengan gunung es, wujud utuh fenomena ini tidak pernah diketahui karena banyak korban yang memilih untuk menutup diri atau tidak melapor atas kekerasan yang dialaminya.
Beberapa alasan yang menahan korban untuk mengungkapkan/melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya, antara lain:
  • Tabu, aib, memalukan, menggoncang harga diri – memunculkan stigma
  • Karena karakteristik ‘emosional’ dari hubungan, juga ketergantungan dalam berbagai bentuk, sering korban menginternalisasi kepentingan pelaku
  • Terperangkap dalam ketakutan/kasihan/ harapan/siklus kekerasan
Bentuk – bentuk kekerasan seksual yang dialami bervariasi: dari kekerasan verbal, penganiayaan, hingga perkosaan. Lingkaran kekerasan seksual yang mendera korban memiliki dampak sebagai berikut:
  • Kebingungan, ketakutan
  • Rasa bersalah, kembangkan harapan-harapan kosong/ilusi
  • Minimalisasi tindakan pelaku; maksimalisasi kesalahan diri
  • INTERNALISASI – berpikir dalam cara berpikir masyarakat/pelaku; ‘membela’ pelaku
  • Implikasi pada proses hukum: korban berpikir dalam cara berpikir masyarakat/pelaku; tidak laporkan, atau mencabut laporan kasus.


REMAJA DAN KEKERASAN SEKSUAL
Kekerasan seksual yang dialami remaja adalah fenomena spesifik. Remaja sebagai fase perkembangan transisional memiliki potensi tersendiri atas munculnya kasus – kasus kekerasan seksual. Potensi tersebut adalah perkembangan pesar organ-organ seksual sekunder selama fase remaja. Namun perkembangan tersebut tidak parallel dengan perkembangan psikologis. Sebagaimana psikososial Erikson menjelaskan fase remaja sebagai fase yang mencari identitas, pencarian ini yang mendasari berbagai perilaku seksual beresiko para remaja.
  • Data Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas, dan UNFPA tahun 2010, sebagian dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 – 24 tahun di  Indonesia rentan berprilaku tidak sehat.
  • Menurut lembaga Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI): Remaja putri berusia 14 – 19 tahun, 34,7% pernah melakukan hubungan seksual, sedangkan remaja putranya 30,9%.  Remaja berusia 20 – 24 tahun, perempuan 48,6% dan pria  46,5%.
  • Penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan dan Pusat  Pelatihan Bisnis dan Humaniora selama 3 tahun (1999 – 2002) pada tempat kos mahasiswa di  Jogyakarta menunjukkan 97,05% dari 1660 mahasiswa yang diteliti sudah hilang keperawanannya.
  • Kasus aborsi di kalangan remaja tinggi. Diperoleh data 2,5 juta jiwa perempuan pernah melakukan aborsi dan 27% nya atau 700 ribu dilakukan oleh remaja.
Dampak Psikologis Perilaku Seksual Beresiko :
  • Hilangnya harga diri (keperawanan/keperjakaan)
  • Perasaan dihantui dosa
  • Perasaan takut hamil dan takut ketahuan
  • Lemahnya ikatan yang terjalin
  • Ketakutan akan kegagalan pernikahan
  • Beban moral
Motif remaja melakukan seksual pranikah menurut Hajcak & Garwood (dalam Dacey & Kenny, 1997) :
  • Menegaskan peran maskulin dan feminin
Bagi sebagian remaja, melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan, merupakan bukti bahwa identitas seksualnya utuh.
  • Mendapatkan kasih sayang
Beberapa aspek dari perilaku seksual termasuk di dalamnya kontak fisik sebagai bentuk kasih sayang, seperti memeluk, membelai dan mencium. Bagi remaja yang hanya sedikit memperoleh bentuk afeksi ini, maka hubungan seks yang dilakukan setimpal dengan afeksi yang mereka dapatkan
  • Sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua atau figur otoritas lainnya
Konflik yang dialami dengan orang tua atau figur otoritas lainnya, membuat remaja menggunakan seks sebagai bentuk pemberontakan, bahkan sampai pada terjadinya kehamilan.
  • Meraih harga diri yang lebih tinggi
Ada remaja yang menganggap jika ada orang yang bersedia berhubungan seks dengannya, maka ia akan memperoleh rasa hormat dan penghargaan dari orang lain.
  • Sebagai bentuk balas dendam atau untuk menghina seseorang
Seks dapat digunakan untuk menyakiti perasaan orang lain, misalnya mantan pacar. Pada kasus yang ekstrim, hubungan yang dilakukan bertujuan untuk memperkosa pasangan sebagai bentuk penghinaan untuknya.
  • Melampiaskan kemarahan
Perilaku seksual merupakan sarana melampiaskan emosi yang ada, termasuk rasa marah yang dirasakan. Remaja umumnya melakukan masturbasi dengan tujuan ini.
  • Menghilangkan rasa bosan
Masturbasi umumnya dilakukan untuk menghilangkan kebosanan yang dirasakan remaja.
  • Membuktikan kesetiaan pasangan
Beberapa remaja terlibat dalam perilaku seksual bukan atas keinginan mereka sendiri tapi lebih dikarenakan ketakutan akan ditinggalkan oleh pasangan bila mereka tidak bersedia melakukannya.
Motif-motif hubungan seksual pada remaja diatas merupakan faktor pemicu dan pendorong, dimana pada masa remaja perkembangan organ seksual dan hasrat seksual menjadi tidak terkendali. Dengan adanya motif tertentu, akan membuat remaja melakukan hubungan seksual pranikah, disamping untuk mendapatkan kepuasan, juga untuk mendapatkan keinginan yang dilandasi motif kesetiaan pada pasangan
PENCEGAHAN
Tidak hanya menganalisa, Kasandra juga menawarkan beberapa solusi agar remaja tidak terjerumus dalam perilaku seksual beresiko, dan tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan seksual.
Bag remaja, banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghindari perilaku seksual yang beresiko, antara lain:
y       Memilih teman yang dapat memberikan pengaruh positif
y       Berusaha untuk selalu terbuka dan jujur dengan orangtua
y       Menumbuhkan rasa mencintai, menghargai, dan menghormati diri sendiri
y       Berpegang pada ajaran agama
y       Menyadari akan nilai-nilai ketimuran
y       Menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif
y       Menghindari mencari pengetahuan kepada orang yang salah, seperti ke teman
y       Menumbuhkan pribadi yang memiliki prinsip dan mental yang kuat
y       Berani untuk mengatakan “tidak” pada sesuatu hal yang tidak disukai
Usaha preventif untuk mencegah terjadinya perilaku seksual beresiko dan kekerasan seksual pada remaja tidak cukup jika diusahakan oleh remaja itu sendiri. Pihak orang tua, guru, masyarakat, media, serta pemerintah wajib turut aktif mencegah terjadinya berbagai kekerasan seksual -termasuk pada remaja.
Usaha – usaha yang dapat dilakukan orang tua, antara lain sebagai berikut:
  • Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
  • Membekali anak dengan dasar moral dan agama
  • Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua dan anak (menciptakan dialog yang hangat dan akrab, layaknya seperti teman bagi anak)
  • Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
  • Menjadi tokoh panutan bagi anak, baik dalam perilaku maupun dalam hal menjaga lingkungan yang sehat
  • Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
  • Mengontrol  dan mengawasi pergaulan  anak
  • Menanamkan keberanian dan rasa percaya diri remaja dalam menghadapi masalah, serta tidak gampang menyerah dari kesulitan
  • Menjadi sumber informasi bagi anak
Usaha – usaha yang dapat dilakukan guru, antara lain sebagai berikut:
  • Bersahabat dengan siswa
  • Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman, yang memungkinkan anak berkembang secara sehat (fisik, mental, spiritual, dan sosial)
  • Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan ekstrakurikuler, menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
  • Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
  • Meningkatkan disiplin sekolah dan sanksi yang tegas
  • Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru, dan sekolah lain
  • Meningkatkan keamanan terpadu sekolah bekerjasama dengan Polsek setempat
  • Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya, dan olahraga antar sekolah
Usaha – usaha yang dapat dilakukan masyarakat dan pemerintah, antara lain sebagai berikut:
  • Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
  • Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung agresifitas anak melalui olahraga dan bermain
  • Menegakkan hukum, sanksi, dan disiplin yang tegas
  • Memberikan keteladanan
  • Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat hiburan
  • Mengadakan pendidikan seks bagi remaja
Peran yang dapat dilakukan media, antara lain sebagai berikut:
  • Menyajikan tayangan atau berita yang sesuai dengan jam tayang dan usia penonton
  • Menyampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif)
  • Menyediakan rubrik khusus dalam media massa (cetak, elektronik) yang bebas biaya khusus untuk remaja
  • Mendukung gerakan psikoedukasi anti pornografi, anti pelecehan seksual dan anti kekerasan seksual
  • Melibatkan diri dalam upaya pencegahan dan intervensi psikologis terhadap pelaku dan korban
  • Melakukan pendampingan psikologis terhadap korban yang tersangkut masalah hukum
Paparan diatas adalah sekilas dari bentangan materi seminar yang disampaikan Kasandra. Kiranya reportase ini tidak hanya sekadar mewartakan kegiatan, namun juga memberikan informasi secara mendalam kepada pihak – pihak yang memiliki kegelisahan terhadap kekerasan seksual pada remaja, namun tidak dapat menghadiri seminar ini. (ahf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Get Gifs at CodemySpace.com